banner 728x250

SQUID GAME : KRITIK KETIMPANGAN SOSIAL DAN PERMAINAN KEKUASAAN

Serial Squid Game arahan Hwang Dong-hyuk di Netflix (Season 1-3) bukan sekadar hiburan Survival thriller yang membuat penonton tertegun hingga lupa berkedip. Berlatar belakang Korea Selatan masa kini, serial ini mengisahkan ratusan individu dari kalangan bawah mulai dari penggangguran, imigran, ibu tunggal, pekerja pabrik yang terjebak utang, yang dimana mereka berani berpartisipasi dalam berbagai permainan tradisional anak anak untuk memperoleh hadiah uang tunai yang luar biasa. Tetapi terdapat satu syarat yang kejam: jika kalah, nyawa menjadi taruhan.

Sekilas Squid Game terlihat seperti drama kejam yang menggabungkan kritik sosial dengan daya tarik hiburan. Namun, di balik visual yang penuh warna kontras dan adegan kekerasan, serial inni sebenarnya mengungkap realitas pahit sistem kapitalisme kontemporer: bagaimana kesenjangan sosial dan kemiskinan struktural menjadikan manusia saling memangsa untuk bertahan hidup. Tidak mengherankan, sejak tayang perdana Squid Game menjadi viral diseluruh dunia dan memicu diskusi mendalam mengenai ketidakadilan ekonomi, konsumerisme, dan krisis kemanusiaan. (BBC, 2021: Squid Game: Why the brutal drama is a global hit.bbc.com/news/world-asia-58838893).

banner 325x300

Dengan menggunakan pendekatan Cultural Studies terutama teori Hegemoni Antonio Gramsci, Diskursus dan Kekuasaan menurut Michel Foucault, serta Resistensi Budaya menurut Dick Hebdige, Squid Game bertransformasi dari sekadar hiburan menjadi satu kritik sosial yang tajam. Serial ini tidak hanya mencerminkan, tetapi juga menjaga serta menggugat struktur kekuasaan dan ideologi yang dominan yang membentuk kehidupan sehari-hari.

Serial ini mencerminkan betapa kejamnya sistem kapitalisme yang terbungkus dalam janji menipu “kesempatan yang setara”. Permainan yang diikuti oleh para peserta yang semuanya tertekan oleh utang dan dalam keadaan putus asa, seakan memberikan harapan bahwa siapapun bisa menang, asalkan memiliki keberanian dan bertahan hingga akhir. Namun seperti yang dijelaskan oleh Antonio Gramsci dalam gagasan Hegemoni (Gramci, 1971; Selections from the Prison Notebooks), janji seperti itu sebenarnya menjadi cara ideologi dominnan memperdaya kelas bawah agar terus patuh. Kegagalan dianggap sebagai kesalahan pribadi, bukan hasil dari sistem. Namun, struktur permainan sejak awal telah dirancang untuk menjamin hanya beberapa yang bisa bertahan, serupa dengan sistem ekonomi dunia nyata yang tidak seimbang.

Selain itu, Squid Game secara ironis juga mempertahankan struktur kekuasaan serta ideologi kapitalisme. Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977; Discipline and Punish: The Birth of the Prison) menjelaskan bahwa kekuasaan beroperasi tidak hanya melalui penekanan, tetapi juga melalui pembentukan diskursus yang mmebuat ketidakadilan dan kekerasan tampak “normal” atau bahkan menghibur. Dalam serial ini, para VIP yang super kaya menyaksikan peserta mati satu persatu layaknya menonton pertarungan gladiator, dan yang paling mengejutkan, kita sebagai penonton di dunia nyata juga turut meraskan ketegangan tersebut. Ini merupakan gambaran bagaimana budaya populer, melalui serial TV dan platform streaming, dapat memperkuat hegemoni ideologi kapitalis: penderitaan kelas bawah menjadi tontonan hiburan, sementara kelas elite tetap berada di puncak struktur sosial.

Tetapi di tengah suasana yang kejam itu, Squid Game juga menggugat struktur kekuaasaan dan ideologi yang dominan lewat momen perlawanan simbolis. Dick Hebdige (1979; Subculture: The Meaning of Style) menyatakan bahwa perlawanan budaya tidak selalu berwujud revolusi besar, tetapi dapat muncul sebagai dukungan, tindakan kecil yang menentang logika individualisme. Dalam serial ini, kita mengamati Gi-hun yang menunda memakai uang kemenangannya, sementara Ali dan Sae-byeok memilih unntuk saling membantu meskipun menyadari potensi risikonya. Aksi kecil ini tidak mengubah sistem, tetapi cukup untuk mengingatkan kita bahwa kemanusiaan masih bisa ada, bahkan di tengah dunia yang kejam.

Pada akhirnya, Squid Game bukan hanya memberi ketegangan atau menghibur, melainkan mengajak kita untuk merenungkan lebih jauh: di dunia nyata, apakah kita hanya ingin menjadi penonton pasif atau berani mempertanyakan dan melawan sistem yang tidak adil? Sebagai tindakan praksis, kita dapat memulai dengan mengevaluasi narasi media yang memuja persaingan ekstrem, mendukung gerakan sosial yang berjuang untuk keadilan ekonomi, atau menciptakan solidaritas yang nyata di lingkungan sekitar. Karena seperti kata Gramsci, “The old world is dying, and the new world struggles to be born: now is the time of monsters.” Saatnya kita tidak hanya menjadi penonton, melainkan juga turut menyusun narasi tandingan counter hegemony yang lebih berperikemanusiaan.

Sumber Referensi:

• Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks.

• Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison

• Hebdige, D. (1979). Subculture: The Meaning of Style.

• BBC. (2021). Squid Game: Why the brutal drama is a global hitbbc.com/news/world-asia-58838893

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *