banner 728x250

Efektivitas Tiktok Sebagai Sarana Penyebaran Konten Tentang Feminisme Pada Khalayak Ramai

Akhir-akhir ini, setelah saya tidak sengaja melihat dan memberikan like konten tiktok tentang buku “Perempuan di titik nol.’’ Banyak konten tentang feminisme yang menjadi algoritma tiktok saya, seperti konten tentang international women days, banyak perempuan berkampanye untuk mengedukasi orang yang tidak tahu bahkan tidak peduli dengan kesetaraan gender dan hak-hak Wanita. Disini saya menemukan hal menarik mengenai komentar yang ada dikolom komen tiktok, banyak yang merasa terbantu oleh konten-konten mengenai femisme yang sedang terjadi, dan ada beberapa komentar yang tidak setuju dengan feminisme, apakah komentar tersebut dari pihak maskulinis atau patriarki?

Jika dilihat dari kacamata cultural studies, media tiktok tidak hanya sebagai media sosial biasa. Tiktok dapat menjadikan alat sebagai pembentukan cara berfikir atau sudut pandang terhadap suatu isu sosial, termasuk dengan feminisme. Representasi Perempuan dalam konten feminisme kerap kali satu arah, maksudnya kontenya menarik secara visual dan pembahasanya, dan memiliki akses digital seperti e-book atau link pembelian bukunya. Semntara buruh atau ibu rumah tangga di kampung-kampung kota, jarang sekali terlihat pada wacana ini. Dalam hal ini saya teringat pada teori kekuasaan dari michel Foucault. Pada media sosial, siapa yang memiliki banyak followers atau engagement lebih luas, mereka yang biasanya dianggap paling pantas beropini. Feminisme yang muncul di tiktok sering kali hanya disuarakan oleh mereka yang memiliki kekuatan sosial dan teknologi yang mempeni. Dan pelaku feminis yang kurang faham dengan potensi penggunaan media sosial sebagai ranah kampanye, mereka mulai terpinggirkan, tapi fokus utama pada kasus ini adalah sebesar apa pengaruh konten feminisme di tiktok terhadap penontonya.

banner 325x300

Gerakan feminise digital kerap dikritik karena terlalu dekat dengan logika pasar, atau hanya sebatas mencari angegment.Akan tetapi hal itu berakibat, banyak pesan penting yang jadi mengedukasi. Fenomena ini disebut sebagai popular feminisme,yaitu feminisme yang diterima karena sudah dibentuk pasarnya dan tidak menganggu system yang sudah ada. Padahal jika kita berbicara mengenai pemberdayaan Perempuan secara nyata,kita tidak bisa berhenti di skala representasi saja. Kita juga harus berupaya berbicara tentang struktur sosial, ketimpangan ekonomi dan akses terhadap Pendidikan atau Kesehatan. Masih ada kesenjangan yang terjadi antara Perempuan yang bisa kita sebut kurang mampu secara ekonomi dengan Perempuan yang mapan dan aktif di tiktok. Ini kerap terpinggirkan dari narasi popular.

Saya tidak bermaksud mendeskreditkan Perempuan atau konten creator manapun yang membuat konten feminisme. Opini saya, hal tersebut menjadi bekal awal yang baik, tapi sebagai mahasiswa yang mempelajari media dan budaya, saya merasa resah dan pada akhirnya berhak mengkritisi pembuat konten tersebut. Jadi saya berharap jangan sampai feminsme hanya menjadi identitas digital yang popular atau sebatas keren saja, akan tetapi malah tidak menyentuh realitas Perempuan yang paling rentan dengan dampak patriarki dan maskulinitas.

Pesan yang ingin disampaikan pada konten-konten tersebut Sudah bagus dan cukup efisien akan tetapi lebih diluaskan lagi skala edukasinya, seperti memberikan barcode yang mengarahkan pada laman atau konten tentang feminisme, pada saat melakukan aksi dijalalan atau pada poster-poster yang disebar supaya, efisiensi penggenalan feminisme pada lingkup digital dapat lebih efiisien dan menyeluruh.

Sumber:

https://vt.tiktok.com/ZSBMFaPm5

https://vt.tiktok.com/ZSBMrnCqB

https://journal.unpar.ac.id/index.php/melintas/article/view/2953

MEDIA CULTURAL STUDIES : Dr. Merry Fridha., M.Si

NAMA & NIM: Ajeng Dyah Pitaloka / 1152200370

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *