banner 728x250

TikTok Feminis dan Budaya Stecu : Representasi Perempuan Muda dalam Kontestasi Identitas Digital

Media sosial merupakan sekumpulan aplikasi internet yang dibangun di atas dasar ide dan teknologi web yang memfasilitasi penciptaan dan pertukaran konten oleh pengguna.Seiring dengan perkembangan yang terjadi, media sosial dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari membangun pertemanan, program kampanye tertentu (edukasi, sosial, agama), lingkungan, kesehatan, dan seterusnya, hingga promosi dan pemasaran produk maupun layanan tertentu  Teknologi telah berkembang dengan sangat cepat.Perkembangan ini menghasilkan banyak efek positif, seperti munculnya video viral yang mengenalkan berbagai bahasa yang ada di Indonesia.Media sosial telah memberikan perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat di segala bidang, termasuk politik, sosial, ekonomi, dan budaya.Selain itu, penggunaan media sosial juga memiliki berbagai efek baik dan buruk yang berdampak besar pada kehidupan masyarakat (Putri, Nurwati, & Santoso, 2016)

Media “TikTok” merupakan media baru (new media) yang populer di kalangan masyarakat seluruh dunia. Media baru adalah segala sesuatu yang dapat mengalirkan informasi dari sumber informasi kepada penerima informasi yang dapat menciptakan inovasi, atau perubahan yang dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar diinginkan masyarakat (Setiawan, 2013). New Media adalah media komunikasi, yakni meliputi produk material sekaligus cultural dari sistem distribusi informasi massal yang ditujukan untuk khalayak luas dan dijalankan berdasarkan . sistem pemasaran modern “Media baru” terbagi menjadi beberapa jenis (1). Media komunikasi interpersonal, (2). Media permainan interaktif, (3). Media pencarian informasi, (4). Media kolektif untuk berpartisipasi (Lister, 2009).

banner 325x300

TikTok Aplikasi ini telah menjadi tempat bagi berbagai tren virus yang membuat dunia digital lebih menarik. Ada tren yang sangat populer pada bulan April 2025. Ini adalah tantangan menari “Stecu Stecu.” Mudah diingat melodi dan teks Tidak mengherankan bahwa tren ini adalah slip utama, dikombinasikan dengan gerakan yang menarik dan mudah diikuti. Fenomena “Stecu” mewakili “pengaturan bodoh”, dan merupakan salah satu tren gaya hidup paling terkenal di Generasi Z, terutama setelah viral. Terima kasih atas lagu -lagu yang ditangkap oleh Tiiktok farris Adam. Menurut tampilan datar dan gaya santai, tren ini memiliki dinamika budaya yang menarik. Ini harus diperiksa oleh perspektif studi budaya dan konsep feminisme.

Menurut sosiolog budaya pop Dr. Lestari Puspita dari Universitas Indonesia, fenomena stecu mencerminkan perubahan cara generasi muda mengekspresikan ketertarikan.”Fenomena seperti stecu menunjukkan bagaimana generasi Z mendefinisikan daya tarik melalui kesan yang tidak langsung. Ada unsur misteri dan kontrol diri yang menjadi daya pikat,” jelasnya. Hal serupa juga dijelaskan dalam buku The Psychology of Cool oleh Joel Dinerstein yang menyebut bahwa sikap cuek namun berkarisma adalah ciri khas daya tarik kontemporer.

Jenis fenomena ini dapat dianalisis dengan pendekatan penelitian budaya yang menggabungkan identitas, media, dan kekuatan simbolik. Sikap budaya menekankan bagaimana budaya populer diciptakan sebagai tempat untuk menciptakan dan mempertahankan kepentingan sosial. Tren Stecu tidak terlihat secara terpisah, tetapi diciptakan dengan interaksi Keinginan media, sektor musik, dan generasi muda adalah keinginan untuk menemukan identitas yang berbeda dari generasi sebelumnya. Tiktok Gen Z Sebagai platform partisipatif memberikan kesempatan untuk menciptakan interpretasi “keren” sesuai dengan pandangan Anda sendiri dan menegosiasikan kekuatan antara aliran utama dan subkultur anak muda. Stecu juga merupakan tindakan perlawanan halus terhadap harapan yang tampak sepenuhnya atau “sulit” untuk mengendalikan media sosial. Dengan menunjukkan Z “ketidaktahuan,” Z benar -benar mengambil alih wilayah, menolak dan memaksa tekanan sosial. Selalu menonton khusus atau langsung.

Konsep feminisme dalam fenomena stecu terlihat pada bagaimana pria dan wanita mengelola cara mereka mengekspresikan diri serta berinteraksi secara sosial.Dalam lirik lagu dan praktik budaya di TikTok, stecu sering diasosiasikan dengan wanita yang terlihat “mahal”, memiliki kesan dingin, tetapi sebenarnya menyimpan emosi.Di satu sisi, hal ini dapat dipahami sebagai bentuk pemberdayaan: wanita memiliki hak untuk menentukan kapan dan bagaimana mereka ingin menunjukkan ketertarikan, tanpa harus terikat pada norma agresif atau ekspresi emosional yang sering dipandang melekat pada wanita dalam masyarakat patriarkal.Namun, ada juga kemungkinan terjadinya pengulangan stereotip lama: wanita diharapkan tetap berperan sebagai “misterius” dan “sulit didapat”, sedangkan pria diharuskan untuk menaklukkan.Oleh karena itu, refleksi kritis sangat diperlukan agar fenomena stecu tidak hanya menjadi bentuk baru dari pola hubungan gender yang lama, tetapi juga benar-benar menciptakan ruang bagi kebebasan berekspresi dan negosiasi identitas yang lebih setara.

tren stecu mencerminkan dinamika budaya kaum muda saat ini: yang dipenuhi negosiasi, penuh kreativitas, tetapi juga rentan terhadap rekayasa oleh kekuatan pasar dan norma-norma sosial. Oleh karena itu, kita sebagai pelaku atau penggemar tren ini, terutama dalam lingkup Gen Z, harus berkomitmen agar tren ini benar-benar menjadi arena untuk mengekspresikan diri secara otentik, bukan sekadar menjadi gaya hidup yang dikendalikan oleh algoritma dan kapitalisme media sosial.

Analisis Tren TikTok “Stecu Stecu” dengan Pendekatan Cultural Studies

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni adalah suatu bentuk kekuasaan ideologis yang tidak diterapkan secara paksa, tetapi melalui persetujuan serta penerimaan dari masyarakat. Dalam konteks tren Stecu di TikTok, kita bisa melihat indikasi hegemoni budaya digital yang sangat halus tapi cukup berpengaruh. TikTok, sebagai media baru, telah menciptakan suasana yang mendorong narasi tertentu yang tampak “alami” dan populer. Dalam fenomena Stecu, terlihat adanya hegemoni estetika dan gaya hidup yang menonjolkan sikap santai tetapi tetap menjaga kesan “mahal”, “estetik”, dan “berkelas”. Konten yang sejalan dengan estetika ini cenderung lebih menarik perhatian algoritma dan penonton.

Di sinilah peran hegemoni terasa: generasi muda, khususnya Gen Z, mengadopsi gaya “santai tapi menarik” bukan karena paksaan, tetapi karena gaya ini dianggap sebagai norma baru yang relevan dan ideal. Proses internalisasi nilai-nilai ini terjadi dengan halus melalui algoritme, tokoh terkenal di TikTok, serta pengulangan visual yang membentuk persepsi kolektif tentang apa yang “patut ditiru”. Dengan demikian, dominasi budaya kini tidak tergantung pada institusi formal, melainkan muncul dari bawah—oleh komunitas digital yang tanpa sadar mereproduksi nilai-nilai dominan melalui partisipasi aktif.

Namun, ada pula elemen penolakan. Tren Stecu secara tidak langsung memperlawanan kebutuhan untuk tampil sempurna, bersikap ramah, atau feminin dengan cara yang tradisional. Dengan menampilkan sikap “tidak peduli”, pengguna TikTok sejatinya menantang tekanan sosial untuk tampil “berusaha keras”. Ini menjadi bentuk perlawanan yang halus terhadap budaya performatif di media sosial meskipun, dalam ironi, tetap terikat pada estetika yang bisa menjadi komoditas.Perlawanan ini tidak sepenuhnya membebaskan, melainkan juga berkontribusi pada siklus kapitalisme budaya yang menjadikan estetika “cuek” sebagai barang dagangan baru. Oleh karena itu, hegemoni dalam tren Stecu tidak hanya menunjukkan dominasi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana perlawanan bahkan bisa kembali diintegrasikan ke dalam logika pasar dan mendapatkan bentuk hidup yang menjual.

Dalam konteks ini, kita bisa memperhatikan relevansinya konsep “simulakra” dari Jean Baudrillard: gaya hidup Stecu tidak lagi melambangkan realitas sosial yang autentik, tetapi merupakan simulasi realitas representasi tentang “kehidupan santai dan bebas tekanan” yang dibentuk serta didaur ulang oleh konten. Identitas menjadi performatif, dan dalam banyak situasi, hanya bisa diwujudkan oleh individu yang memiliki modal kultural dan simbolik tertentu. Mereka yang dapat berpura-pura “santai namun tetap menarik” sering kali berasal dari latar belakang yang secara sosial-ekonomi dapat mengakses gaya hidup semacam itu, sehingga menjadikan tren ini tidak benar-benar inklusif.

Sementara itu, Pierre Bourdieu mengingatkan kita bahwa preferensi estetika tidaklah netral, melainkan sangat terkait dengan habitus dan kelas sosial. Dalam hal ini, tren Stecu juga mencerminkan dominasi kelas tertentu yang berkuasa dalam mendefinisikan selera “bagus” atau “berkelas” dalam ranah digital. Akhirnya, meskipun terlihat sebagai ungkapan kebebasan dan keautentikan, tren ini tetap terjebak dalam struktur sosial yang tidak seimbang.

Praktik budaya tersebut merefleksikan, mempertahankan, atau menantang struktur kekuasaan dan ideologi.

Fenomena “Stecu Stecu” di TikTok bukan hanya sekadar kegemaran hiburan atau mode yang populer, tetapi juga merupakan suatu praktik budaya yang mencerminkan hubungan kekuasaan dan ideologi dominan dalam masyarakat digital saat ini. Tren ini secara tidak langsung menunjukkan bagaimana nilai-nilai sosial, terutama yang berkaitan dengan gender, ekspresi diri, dan standar kecantikan, dibentuk, disebarkan, dan dipertahankan melalui platform media sosial.

Mencerminkan Kekuasaan dan Ideologi Sosial-Budaya

Tren Stecu memperlihatkan bagaimana media digital turut memperkuat struktur kekuasaan simbolis. Dalam konteks ini, TikTok sebagai sebuah platform tidak bersifat netral. Algoritmanya mendorong konten-konten tertentu yang dianggap “menarik”, “estetik”, dan sesuai dengan keinginan pasar. Konten yang menampilkan wanita yang terlihat “cuek tapi tetap menawan” atau “dingin namun mahal” lebih mudah untuk menjadi viral dibandingkan ekspresi yang lebih bebas dan emosional.

Hal ini memperkuat pandangan media sosial bahwa seseorang harus selalu tampil “menarik” untuk mendapatkan perhatian, ‘like’, dan pengakuan sosial. Meskipun terlihat bebas dan ekspresif, ruang digital masih diatur oleh standar visual yang ditentukan oleh logika kapitalisme dan algoritma media.

Mempertahankan atau Menggugat Kekuatan Dominan

Di satu sisi, perkembangan ini mempertahankan supremasi patriarki dan nilai-nilai kapitalis. Meskipun terlihat sebagai cara untuk memberdayakan, tren ini tetap mengharuskan perempuan untuk berpenampilan dalam cara tertentu—keren, menarik, tidak terlalu terbuka, serta tetap memelihara estetika.

Namun, di sisi lain, kita juga dapat mengamati adanya usaha untuk melawan atau resistensi budaya. Tren Stecu dapat menjadi bentuk protes halus terhadap tuntutan sosial yang selama ini mengharuskan perempuan untuk selalu tampil dalam cara yang feminin, lembut, dan ekspresif secara emosional. Dalam tren ini, perempuan dapat menunjukkan kekuatan, bersikap tertutup, dan menentukan sendiri cara mereka ingin berinteraksi—ini adalah pernyataan tentang hak dan identitas.

Refleksi Kritis dan Tindakan Praksis

Jika dilihat secara sekilas, tren Stecu Stecu di TikTok tampak menyenangkan dan menghibur. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, fenomena ini memiliki banyak lapisan makna yang berkaitan dengan kekuasaan, identitas, dan budaya populer. Tren ini tidak hanya berfokus pada penampilan yang tampak santai dan modern, tetapi juga berhubungan dengan bagaimana media sosial, terutama TikTok, membentuk cara generasi muda mengekspresikan diri.

Di balik kesan “bebas” dan “modern”, terdapat standar baru yang secara tidak langsung mengatur cara kita menampilkan diri. Misalnya, perempuan diharapkan untuk tampil santai, dingin, tetapi tetap menarik dan estetik. Jika tidak memenuhi kriteria itu, mereka dianggap tidak memenuhi “standar viral”. Padahal, seharusnya ekspresi diri itu bebas dan tidak terikat oleh tekanan sosial semacam itu.

Tindakan Praksis atau Solusi yang Bisa Dilakukan:

Kita perlu lebih sadar akan media dan bersikap kritis. Tidak semua tren harus diikuti tanpa dipikirkan. Kita seharusnya mempertimbangkan terlebih dahulu: apakah tren ini membuat kita lebih bebas atau justru menambah beban? Pendidikan mengenai literasi media sangat penting, terutama untuk generasi muda yang sangat aktif di media sosial.

Ciptakan ruang untuk ekspresi yang lebih luas dan inklusif. Jangan hanya memberikan perhatian pada konten yang indah dan menarik. Harus ada juga tempat untuk individu yang ingin menyampaikan pendapat mereka dengan jujur, tanpa merasa harus tampil mewah atau keren.

Adopsi perspektif feminisme yang terbuka dan sesuai konteks. Ingatlah bahwa tidak semua orang memiliki akses terhadap standar kecantikan yang ada dalam tren seperti Stecu. Kita harus menyadari bahwa banyak faktor lain seperti latar belakang sosial, budaya, dan etnis juga berpengaruh pada cara seseorang menampilkan diri.

Penulis: Yasinta Citra Dewi Kurniasari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *