TikTok sebagai Fenomena Budaya Kontemporer
Dalam lanskap digital yang terus berkembang, TikTok telah mengukuhkan posisinya sebagai platform media sosial dominan, melampaui sekadar berbagi video pendek untuk menjadi arena budaya kontemporer yang dinamis. Dengan lebih dari satu miliar pengguna aktif secara global, platform ini secara fundamental telah mengubah cara kita berinteraksi, mengonsumsi informasi, dan membentuk pemahaman tentang dunia di sekitar kita. Lebih dari sekadar hiburan visual, TikTok kini menjadi medan pertempuran ideologi, ruang ekspresi identitas yang beragam, sekaligus medan bagi berbagai bentuk resistensi budaya.
Analisis mendalam terhadap TikTok memerlukan penggunaan lensa Cultural Studies, sebuah disiplin yang secara inheren berfokus pada bagaimana budaya diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi dalam masyarakat, serta bagaimana relasi kekuasaan memengaruhi proses tersebut. Melalui kerangka kerja ini, kita dapat mengupas lapisan-lapisan kompleks yang membentuk pengalaman TikTok. Fokus utama akan diarahkan pada:
• Relasi Kekuasaan: Bagaimana kekuatan dominan (baik secara ekonomi, politik, maupun budaya) beroperasi dan membentuk konten serta interaksi di TikTok. Ini mencakup eksplorasi hegemoni budaya, seperti yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, yang beroperasi melalui konsensus dan pengaruh halus.
• Diskursus Media: Bagaimana narasi, makna, dan wacana dibangun dan dinegosiasikan di dalam platform. Mengacu pada pemikiran Michel Foucault, kita akan melihat bagaimanadiskursus di TikTok membentuk pemahaman kolektif dan berpotensi memperkuat atau menantang norma-norma yang ada.
• Representasi Identitas: Bagaimana berbagai identitas—etnis, gender, seksual, kelas, dan lainnya—direpresentasikan, ditafsirkan, dan dinegosiasikan oleh pengguna. Konsep representasi dari Stuart Hall akan relevan di sini, menyoroti sifat konstruktif dan seringkali problematis dari penggambaran diri dan orang lain.
Hegemoni Budaya Barat di TikTok
Konsep hegemoni, yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dinamika kekuasaan yang beroperasi di platform media sosial kontemporer seperti TikTok. Hegemoni, dalam pandangan Gramsci, bukanlah sekadar dominasi yang dipaksakan melalui kekuatan kasar, melainkan pembentukan konsensus di mana nilai-nilai, norma, dan pandangan dunia dari kelompok dominan diterima secara luas sebagai hal yang umum atau “alami” oleh masyarakat luas.
Di TikTok, hegemoni budaya Barat seringkali terlihat jelas. Tren viral, tantangan populer, estetika visual, dan bahkan format konten sering kali berakar pada budaya populer Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Ini dapat termanifestasi dalam:
• Tren Musik dan Tarian: Mayoritas lagu yang digunakan dalam video viral berasal dari artis-artis Barat. Demikian pula, tarian dan tantangan yang populer sering kali berasal dari Amerika Utara atau Eropa.
• Narasi Budaya: Pembahasan topik sosial, politik, atau budaya yang menjadi tren sering kali dibingkai dari perspektif Barat, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui platform.
Dominasi ini memiliki implikasi signifikan, terutama bagi pengguna dari Global Selatan atau budaya non-Barat. Ketika tren dan narasi yang populer secara inheren mencerminkan nilai-nilai Barat, konten yang berasal dari tradisi budaya lain—termasuk musik, tarian, gaya, dan perspektif—berisiko terpinggirkan. Pengguna dari luar Barat mungkin merasa perlu untuk mengadopsi atau meniru estetika dan tren Barat agar konten mereka diperhatikan dan mendapatkan “viralitas”, yang pada gilirannya dapat mengikis keunikan ekspresi budaya lokal.
Nama: Moch Abizar Alief Rohmatulloh
NIM: 1152200386
Nama Dosen Pengampu: Dr. Merry Fridha., M.Si